Saturday, May 14, 2011

3. Alasan untuk disembunyikan

Annika. dia ingat sebuah nama. seorang wanita yang pertama kali mengajarkannya cinta dan memaksanya merasakan sedih.

"hey, kau tau? besok Annika ulang tahun. dia menyuruhku mengajakmu kerumahnya" kata seorang kawan pada Dilan.

"benarkah? dia tak pernah cerita. pukul berapa kita kesana?" Dilan pun bersemangat.

"besok siang kau ke rumahku, kita berangkat bersama" kata si kawan.

"oke, sebaiknya aku pulang. aku akan siapkan sesuatu untuknya" dengan langkah tergesa dan bersemangat, dia berlari pulang karena memang jarak rumah Dilan dan si kawan tidak terlalu jauh.

hampir setahun mereka menyatakan diri sebagai pasangan, dan besok adalah hari ulang tahun Annika. sesuatu yang harusnya spesial, tidak perlu hebat. tapi cukup menarik untuk diingat.

keterbatasan dana membuatnya harus berpikir dan bertindak kreatif, dan Dilan mengartikan kreatif secara harfiah yang berarti menciptakan. dia berangkat membeli tanah liat yang biasa digunakan bocah taman kanak-kanak membuat kerajinan tangan.

cukup lama dia menghabiskan waktu hanya untuk berpikir. "harus ku apakan tanah ini?" gumamnya.

dia mencoba memindahkan gambaran di kepalanya ke atas sebuah kertas. dan menggambar adalah hal pertama yang dilakukannya bersama kertas dan pensil, setelah dia merasa tidak boleh menggambar karena kalah dalam lomba mewarnai tingkat RT yang diselenggarakan oleh panitia tujuh belasan untuk usia 5-7 tahun.

satu lagi pekerjaan yang menyita waktunya. "tapi untuk Annika, tak apa lah" katanya.

sketsa selesai, dan dia masih harus men-3 dimensikan gambarnya dengan bantuan kawan barunya. "berbaik hatilah padaku kawan, itu pun jika kau punya hati".

hingga petang, dan dia merasa telah melakukan kesalahan pagi ini. "harusnya aku belikan sesuatu yang sederhana saja, bunga mawar mungkin" pikirnya. Dilan merasa hari ini begitu lama, mungkin ini yang dimaksud dengan relativitas waktu menurut Enstein pikirnya.

selesai, dan dia melihat jam di dinding kamarnya. setengah sembilan, setengah hari sudah dia bergelut dengan kreativitasnya. dan menurutnya tidak terbayar sama sekali, hasil yang kurang memuaskan.

"apa itu? bebek?" suara seorang gadis terdengar dari pintu dan mengejutkannya.

"kau tidak lihat? ini lambang cinta" jawabnya agak kesal.

"bebek itu lambang cinta? hahahahaha" tanyanya sambil bergurau lalu pergi.

"apakah semua adik perempuan seperti itu? atau memang kawan baru ku ini lebih mirip bebek?" dan dia memandang hasil karyanya dari setiap sudut. "tak apalah, paling tidak aku sudah mencoba. memang baru pertama kali, Annika juga akan mengerti" pikirnya.

sepanjang perjalanan, Dilan berusaha mencari alasan yang tepat kalau-kalau Annika bertanya tentang bebeknya. "aku mencoba membuat sesuatu untukmu, agak terasa lebih istimewa, untukmu yang istimewa. jika kau tak suka, tak apa singkirkan saja. tapi jangan singkirkan maknanya".

"sepertinya kita agak terlambat" kata si kawan sambil mematikan mesin motornya. "sudah kubilang tak perlu lama berdandan" tambahnya lagi.

"ini untuk Annika, aku harus tampil sempurna" jawabnya sambil tersenyum.

"kau duluanlah, aku amankan motorku" kata si kawan.

dengan langkah sedikit terburu, sampailah dia di sebuah pintu besar yang tingginya sekitar 2,5 sampai 3 meter yang mungkin bisa dimasuki oleh 5 orang sekaligus. dengan ruangan yang besar dan dipenuhi tamu undangan. "rumah seorang pengusaha sukses, wajarlah" pikirnya.

Postur yang cukup tinggi memudahkan Dilan melihat kue besar berwarna putih dengan hiasan pink disekitarnya dan angka 19 diatasnya, yang terletak di tengah ruangan. Annika pun disana, dengan gaun merah muda. terlihat anggun layaknya selebritis Hollywood yang sedang menghadiri acara penghargaan.

"hey, siapa pria disebelahnya? apakah itu kakaknya?" Dilan bertanya kepada temannya yang baru saja tiba. "entahlah, aku belum pernah melihatnya" jawab si kawan.

lalu, pria yang cukup tampan dan terlihat rapi dengan jas hitamnya itu mengeluarkan cincin yang tidak terlalu tampak dari tempat Dilan berdiri. yang dia lihat hanya si pria memakaikan cincin itu di jari manis Annika, lalu sebuah kecupan mendarat dikeningnya.

"selamat untuk anak kami Annika dan Tama" kata seorang pria paruh baya diiringi suara tepuk tangan dari orang-orang diruangan itu. "kepada para tamu, silahkan menikmati hidangannya" katanya lagi.

dengan agak ragu, Dilan mendekati seorang wanita yang berdiri agak ke dalam lalu bertanya "pria itu siapa?". "itu tunangannya, dan hari ini adalah harinya" jawab si ibu dengan nada bahagia.

dengan perasaan terkejut dan langkah agak malas, Dilan kembali ke tempat kawannya berdiri dan mengejutkan si kawan dengan informasi yang dia bawa.

"lebih baik kita ucapkan selamat kepadanya lalu kita pergi" usul si kawan. lalu Dilan meletakkan hadiahnya di bawah meja, bersama piring kotor sisa makan para tamu. dan si kawan tidak ingin menanyakan alasannya.

Annika yang sedang bercanda dengan si pria lalu terkejut melihat Dilan ada didepannya. "selamat untukmu dan hari bahagiamu" kata Dilan sambil tersenyum menyembunyikan sedihnya. "terimakasih" jawab Annika yang ikut tersenyum menutupi rasa terkejutnya.

Dilan menghabiskan sisa malamnya bersama si kawan, melakukan apa saja yang bisa membuatnya lupakan Annika. "setidaknya untuk malam ini" katanya dalam hati, bersama air mata yang dia simpan dalam hati.

suara telepon genggam membangunkannya. "aku di depan rumahmu" dan Dilan tau betul suara siapa itu. dilihatnya jam dinding "setengah sembilan" dan dengan langkah berat pergi kekamar mandi untuk membasuh mukanya lalu keluar menemui si wanita.

"mengapa kau tidak menjawab teleponku semalam?" tanya Annika memulai pembicaraan.

"aku tidak dirumah dan aku tidak membawa telepon genggamku" jawabnya. "apakah pria kemarin itu tunanganmu?" tanya Dilan ragu.

"ya, maaf tidak memberitahumu sebelumnya" jawab Annika. selama sebulan penuh sebelum hari ulang tahun Annika, mereka tidak berjumpa. Annika hanya bilang sedang ada urusan dan tidak menjelaskan urusannya.

"dia seorang pengusaha juga, seperti ayahku. aku melihat masa depan dengannya. dan untuk kebanyakan wanita seumurku, pria seperti itulah yang kami cari" jelasnya.

"sepertinya begitu, temanku pun begitu" Dilan melanjutkan. "baiklah, semoga kau sukses dengan masa depanmu" katanya lagi.

dengan sedikit basa-basi dan salam perpisahan, Annika pun pergi. dan sudah setahun belakangan ini, Dilan tak lagi mendengar kabarnya.


Annika, alasan yang tidak ingin dia ingat lagi. alasan lain dibalik penolakkan menyambut hari ulang tahun. dan alasan untuk menahan hasratnya mengejar Puspita.

No comments:

Post a Comment