Wednesday, July 20, 2011

6. Mencoba untuk tidak menyesal

ada sesuatu, entah apa, yang mana. nyaman saja rasanya. melihatnya, membayangkannya, meraba isi pikirannya, menerima perlakuannya, membiarkan suaranya menyentuh lembut gendang telinga. "aku suka caranya" mungkin itu yang membuatnya nyaman pikir Dilan.



beberapa bulan menjelang akhir perjuangan, setelah semua tugas diselesaikan sudah, dan akhir dari sebuah masa menunggu di tuntaskan. "gila, hasil belajar tiga tahun ditentukan dalam tiga hari" teriak kawan yang satu. "jika gagal, apakah jadi sia-sia?" tanya yang lain, satu-satunya wanita disana. "inilah kehidupan. akhirnya, semua hal yang kita jalani akan di uji, sejauh mana kita paham, bukan hanya tau. dan tidak akan sia-sia kawan, semuanya akan berguna nanti" kata seorang kawan yang sepertinya dari tadi ingin bicara tapi tertahan karena mulutnya yang penuh makanan. "sok bijak, habiskan dulu makanmu baru nanti bicara" kata yang pertama tadi. "sok tau, seperti yang sudah paham saja" kata si wanita yang bertanya. lalu tertawa bersama.

empat orang pelajar, di kantin sekolah, meneriakkan kepanikan diantara kesenangan, semangat, harapan. menantikan kenikmatan menjelajahi dunia baru, dan kejutan pertama yang jelas nyata di setiap kepalanya. "tiga tahun kawan, sudah akan berakhir". para pelajar yang saling melemparkan pandangan dan senyum tipis, merekam setiap jengkal wajah teman-temannya. dan tatapan singkat yang seakan berkata "jangan lupakan aku".

"hari ini dirumahku, pukul tujuh. sudah kusiapkan materi belajarnya" kata Dilan sebelum kembali ke kelasnya.


jam pelajaran tambahan selesai, sudah dekat ujian akhir, dan bertambah waktu yang mereka habiskan disekolah. para siswa berhamburan keluar kelas seperti burung merpati yang sedang berkumpul lalu dikacaukan sepeda yang lewat. "siapa wanita itu?" tanya Dilan dalam hati. cukup lama terdiam sebelum dibuyarkan suara kawannya. "ayo, pertandingannya segera dimulai" lalu menyeretnya jauh dari lamunan si gadis yang sepertinya baru dia lihat, membawanya turun ke tengah lapangan sekolah. hari ini ada pertandingan futsal antara kelas Dilan dan kelas yang dihuni si gadis, dan tentu saja si gadis ada di pinggir lapangan ingin melihat teman-teman sekelasnya bertanding. "sejak kapan dia ada disekolah ini? kenapa aku baru melihatnya?".

"dia Kanaya, teman sekelasku saat kelas satu dulu" jelas seorang kawan.

entah sebuah kebetulan atau memang Tuhan sudah merancang, gadis itu sendiri berjalan pulang. Dilan mempercepat langkahnya berharap bisa menyusul dan terpaksa meninggalkan tiga temannya.

"hey, Kanaya? aku Dilan" sambil menyodorkan tangannya sedikit malu.
masih bersama perasaan terkejut, Kanaya menyambut tangan Dilan dan mengiyakan pertanyaannya.
"kau sendirian?" sekedar basa-basi permulaan dia pikir.
"biasanya berdua, temanku tidak masuk hari ini, dia sakit" jawab Kanaya.
"baiklah, aku duluan. hati-hati di jalan" paling tidak sudah tau namanya pikir Dilan.
"baiklah, kau juga hati-hati" balasnya lembut.



sebuah cafe kecil di pinggir jalan dekat rumah seorang teman wanita yang kebetulan juga adalah kawannya Kanaya. "sebuah kebetulan atau keberuntungan?" pikirnya. beberapa minggu setelah menjajaki tempat belajar yang baru.
"Kanaya suka padamu" kata si kawan.
"benarkah?" tanya Dilan bersama rasa penasaran dan tidak percaya.
"kau tanyakanlah sendiri. ini nomor teleponnya" si kawan menyodorkan telepon genggamnya dan membiarkan Dilan tau nomor Kanaya.
"hey, benar apa yang kawanmu katakan?" tanya Dilan ragu.
tipis suara tawa agak malu menjawab pertanyaan Dilan.
"lalu?" masih dengan ragu.
"yaa, lalu?"
"baiklah"
"bicara apa sih?" tanya si kawan bingung.



jarak yang memaksa mereka sering menahan rasa rindu. Kanaya melanjutkan pendidikannya di luar kota, dan saat liburan adalah waktu yang paling menyenangkan untuk Dilan, karena Kanaya akan kembali ke Jakarta dan mereka akan bertemu. setiap manusia memiliki dunianya sendiri, dan kesadaran ini yang membuat mereka tidak terlalu sering menanyakan "sedang apa" atau "dimana" atau apalah kepada pasangannya. karena mereka juga sadar, ada saatnya mereka masuk ke dalam dunia yang tercipta hanya untuk mereka nikmati berdua.

agak ragu, Dilan menggapai telepon genggamnya. "aku takut mengganggu" pikirnya. "tak apa lah, sekedar ingin mendengar suaranya" ucapnya dalam hati.

"halo" suara lembut itu menenangkan resahnya.
"hey, sedang apa?" tanya Dilan.
"baca buku, sekedar mengisi waktu luang. kenapa?" sambil menutup buku, mencoba fokus pada suara pria disana.
"tidak ada, hanya ingin mendengar suaramu. mengganggukah?".
"tidak, tenang saja" tak bisa Kanaya sembunyikan senangnya.
"untunglah. sudah makan?" pertanyaan pembuka.
"belum, malas" jawabnya santai.
"makan kok malas? nanti sakit" kalimat keperdulian paling mendasar sepertinya.
"iya, nanti lah kalau ingin" masih dengan santai.
"baiklah, terserah saja" layaknya melemparkan handuk putih ke tengah ring tinju.
"kamu sudah makan?" tanya Kanaya.
"jelas sudah. kalau telat, bisa gila nanti. hahahahaha, " jawabnya.
"tumben" bersamaan dengan suara tawanya yang lembut.
"baiklah. kalau bisa, makan lah dulu sebelum tidur" berharap Kanaya mendengarnya.
"iya, tenang saja. terimakasih" balasnya mencoba menenangkan Dilan disana.



"ternyata ini rasanya kuliah, tidak setiap hari masuk kelas. menyenangkan sekali" kata seorang kawan. "tempatmu lebih dekat dengan kampus, bagaimana jika malam ini aku menginap?" tanya Dilan.
"silahkan saja, aku juga sedang butuh lawan tanding" jawab si kawan.

telepon genggam berbunyi, Dilan meletakkan joystick Playstation, meraih telepon genggamnya dan membuat temannya marah. "hey, jangan pergi kau. selesaikan ini dulu" kata si kawan.
"sebentar, aku segera kembali" jawabnya terburu lalu sedikit menjauh.

"hey, sudah bangun?" suara lembut Kanaya membuatnya bersemangat.
"sudah dari tadi" jawab Dilan tersenyum senang. wajar mungkin, baru saja mereka memutuskan untuk berpacaran.
"sedang apa?" tanya Kanaya agak malu.
"biasa, main playstation. kamu sedang apa?" mencoba menahan agar suara detak jantungnya tak terdengar.
"tidak ada. sudah mandi? pasti belum" dengan tipis suara tawanya.
"masih jam 10, sebentar lagi lah. kamu sudah makan?" ah, pertanyaan klise pikirnya.
"sudah, baru selesai. kamu? pasti belum juga" kebiasaan para pria.
"hebat, bisa tau. hahahahaha" entah mentertawakan bodohnya sendiri atau apa.
"mandi sana, terus makan. jangan main saja" sebuah kalimat suruhan, tapi tidak berkesan disuruh. mungkin karena Kanaya yang mengucapkan dan rasanya menyenangkan pikir Dilan.
"siap, laksanakan" jawab Dilan bersemangat.



untuk Dilan, tiga bulan itu sangat mengesankan, belum tergantikan. setiap jengkal yang mereka lalui, setiap dering telepon yang berbunyi, semua pesan singkat yang tersimpan.
"caranya yang membuatku terkesan" jelas Dilan kepada kawannya.
"tidak setiap saat, bahkan jarang sekali dia mengabari atau menanyakan kabarku. atau meneleponku. dan aku suka itu" si kawan diam mendengarkan.
"tidak seperti yang lain yang selalu minta untuk di kabari setiap saat" lanjutnya lagi.
"lalu, kenapa dia meminta kalian berpisah?" tanya si kawan.
"entahlah, aku ragu menanyakannya. salah atau benar tak masalah, aku tak ingin menyesalkannya" jawab Dilan agak sedih.
"lalu, kau masih berharap padanya?" tanya si kawan menggoda.
"sepertinya. aku ingin tau lebih banyak tentangnya, ingin tau sejauh mana dia akan mengesankanku. dan sekarang aku rindu caranya" sebuah pengakuan yang mungkin terkesan menjijikkan dan sambil tersenyum malu kepada si kawan.


entah tidak bisa, atau tidak ingin dia lupakan. selalu ada pertanyaan yang tidak ingin beranjak dari pikirannya, "mungkinkah dia juga terkesan padaku? mungkinkah ada kesempatan lagi untukku? mungkinkah dia masih ingat cerita ini?". sampai hari ini, tiga tahun sudah, dan semua wanita yang berharap bisa menggantikannya, tidak mampu menghilangkan kenangan tentangnya. dan masih sering Dilan melakukan perjalanan kembali lagi ke masa itu. perjalanan yang kadang dia benci karena sering salah tempat dan waktu. tapi dia selalu mencoba untuk tidak menyesal.

Tuesday, July 19, 2011

5. Di balik gelap ruangan

so am I, still waiting, for this world to stop hating.
can't find a good reason, can't find hope to believe in.


sepenggal lirik lagu Sum 41 berjudul still waiting berkumandang dari komputernya. saat adegan itu kembali lagi ke dalam lamunannya. tak berteman, hanya sepi. sekedar menikmati sendirinya, lalu datang bagaikan peluru yang dimuntahkan moncong senjata dan melesat langsung ke kepalanya. di dalam sebuah ruangan, semuanya terekam dan semuanya diputar kembali. hanya ruangannya yang berbeda.

pria kecil yang ingin menangis tapi tak ingin air mata. duduk bersandar pada pintu kamarnya. mendengar teriakan dan luapan emosi pada meja makan, kursi, dan pada ruangan yang jelas tak bersalah. sesuatu yang entah apa sengaja membangunkannya, memaksa si kecil membuka sedikit pintu kamarnya dan melihat salah satu rahasia malam.

"kami hanya tak sengaja bertemu. dia sedang berkunjung dan aku hanya sekedar menyapa" jelas ayah tenang.
"sekedar itu tidak duduk bersebelahan sambil tertawa dengan gelas kopi di atas meja" sambil menahan teriakan dan air matanya. wajah ibu yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

"siapa yang berkunjung?" entah kepada siapa dia bertanya. ruangan gelap yang tidak mungkin menjawab.

"layaknya kawan yang lama tidak berjumpa, bercerita masa lalu. pasti lah tertawa" jelas ayah.
"lalu kau antar dia pulang? memangnya tidak bisa pulang sendiri?" ibu menaikkan nada bicaranya.
"kami kan tidak berdua. ada tiga orang lagi disana"
"tapi kenapa harus dia didepan?" wajah merahnya jelas menunjukkan sesuatu yang semakin kuat ditahan.
"yang tiga itu pria, dia wanita sendiri. tak ada salahnya kupikir" hampir tidak mampu sepertinya ayah menahan marahnya.
"salah lah, kenapa tidak di belakang saja dia. atau tidak perlu ikut sekalian" ucapan ibu mengakhiri percakapan malam itu. ayah melangkah keluar rumah sedikit terburu, ingin menghisap beberapa batang rokok sepertinya. ibu masuk kamar dan terdengar mengunci pintunya.

si kecil bersembunyi di balik bantalnya, di balik rasa terkejut dan air mata yang masih tertahan. di balik pertanyaan, di balik gelap ruangan.

"kenapa aku harus melihatnya? umurku sebelas tahun. kenapa malam tidak biarkan saja aku beristirahat?" pertanyaan yang entah kapan terjawab. atau tidak akan?

sebuah cafe sederhana hasil usaha mereka adalah tempat kejadian perkaranya. yang datang berkunjung adalah teman-teman SMA ayah. ibu baru kembali dari rumah temannya di seberang jalan saat ayah melaju dengan mobilnya. malam memaksa ayah untuk mengantarkan temannya terutama yang wanita pulang. "kenapa malam selalu memaksa?" pikirnya.

seminggu setelah malam itu, suara lembut ibu menyadarkannya. pukul sepuluh malam dan sebuah pertanyaan. "kamu mau ikut siapa?" si kecil ingin menangis tapi tidak suka air mata. tetap saja tetesannya memaksa melepaskan diri. "bisakah aku tidak menjawab?" bertanya dia dalam hati.

Dilan dan Diana adalah alasan ayah dan ibu tidak jadi berpisah. hampir seminggu penuh mereka habiskan waktu dengan pertengkaran di cafe, dan membawa dampak yang cukup besar untuk usaha yang mereka rintis sejak masih pacaran dulu. pertengkaran kecil yang berdampak sangat mengerikan yang terjadi di waktu dan tempat yang salah.

ibu membuka toko kecil di depan rumah baru mereka yang juga lebih kecil dari rumah yang lama. tidak ada yang ingin bekerja sama dengan ayah lagi karena takut kejadian mengerikan itu akan terulang. tidak ada lagi antar jemput sekolah dengan mobil. menyisakan dua sepeda kecil untuk Dilan dan Diana. saat itu, Diana yang masih berumur tujuh tahun jelas tidak mengerti, dan dengan sangat hati-hati mereka menjaga agar dia tidak pernah tau. "mobil ayah sedang ada di bengkel" kata ayah kepada Diana.


wanita yang sama, dan dia datang lagi, menawarkan kerjasama kepada ayah. seperti menyulut selembar kertas dengan sebatang korek api. dan panas setiap ruang kecil di setiap sudut rumah.

"kita sudah cukup baik seperti ini, tak perlulah dia" ibu jelas tidak setuju.
"tapi ini kesempatan yang bagus, seperti dulu lagi" kata ayah seakan memohon.
"ya, seperti dulu lagi. saat dia datang dan merusak semuanya. mau sampai mana kau biarkan dia merusak hidup kita?" langkah kaki memenuhi ruangan. dari depan ke dapur, lalu ke depan lagi, dan ke dapur lagi.
"lihat sisi baiknya. dia akan mengembalikan kejayaan kita" ayah menjelaskan sedikit kesal.
"lihat sisi buruknya, dia akan membawamu pergi. tak mungkin lah tanpa alasan dia membantu"

si kecil sudah tiba di usia delapan belas, dan hampir setiap hari selama sebulan mendengarkan pembicaraan ini. sepulangnya dia dari rumah kawannya, lewat pintu belakang. melihat Diana menangis di sudut kamarnya, menenangkannya lalu melangkah keluar.

"bisa kalian hentikan? Diana takut" kata Dilan mengagetkan mereka.
"tenang nak, sebentar lagi selesai" kata ayah sebelum melanjutkan lagi pertikaiannya.
"lebih baik dihentikan sekarang" dan meletakkan tangannya di kursi makan yang terbuat dari kayu jati.
"diamlah sebentar nak, biar kami selesaikan ini" lalu kembali lagi pada pertikaian.

mengangkat kursi kayu yang cukup berat, melangkah ke tengah ruang lalu Dilan berteriak "hentikan sekarang, atau aku hancurkan rumah ini" sepertinya televisi menjadi sasaran pertamanya.
"aku lelah mendengar kalian, dan aku tak ingin kalian menakuti Diana. hentikan atau sekalian saja ku bikin tambah ramai" mendadak semua terdiam, begitu tenang. suara isak tangis Diana dari kamar dan suara nafas mereka mengisi penuh rumah itu.

lagu berjudul with me dari Sum 41 membuyarkan lamunannya, membuatnya sadar bahwa dia terlalu lelah untuk menelusuri kelanjutan ceritanya.

dia tetap pria kecil yang sama, hanya saja lebih besar sekarang. pria yang ingin menangis tapi tak ingin air mata. dan membiarkan tetesannya bersembunyi di dalam hatinya, di balik kelopak matanya, di balik gelap ruangan.

4. Malam berkuasa

"hey teman, pernah kau putus asa?" tanya seorang kawan memulai pembicaraan.

seperti biasa, meja yang berhiaskan dua gelas kopi yang sudah beberapa kali diseruput, asbak, 2 bungkus rokok yang sudah beberapa kali dihisap dan abunya yang bertebaran, serta sebuah pertanyaan "kenapa abu rokok bertebaran diatas meja padahal ada asbak disana?".

"aku tidak menyebutnya putus asa, aku menyebutnya malam berkuasa". dengan nada sedikit bercanda, Dilan menghisap rokoknya dan menunggu seakan tau si kawan akan bertanya.

malam minggu ini rasanya lebih panjang dari malam-malam yang lain. lelah sudah berkeliling Jakarta bagian selatan bersama 9 kawan lain, menyaksikan lagi paha-paha wanita muda berkeliaran sepanjang perjalanan setelah mereka lihat 'pertunjukkan' itu di televisi, dan menikmati udara malam di sebuah taman bersama pasangan muda-mudi yang membuat iri. menyisakan Dilan dan si kawan di teras rumah Dilan. nampak jam di tangan si kawan menunjukkan pukul sepuluh. "empat jam yang melelahkan" ujarnya dalam hati.

"malam berkuasa? apa lagi itu?" benar saja si kawan bertanya heran.
"aku biarkan malam menguasai perasaanku" dengan sedikit tersenyum Dilan menjelaskan.
"itu pun hanya jika terpaksa saja" lanjutnya lagi setelah menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.

pertanyaan si kawan membawanya kembali, saat dia tanyakan itu kepada ayahnya. saat dia merasa tidak bisa melewati tembok yang menghadang di hadapan.

"kau sedang ada masalah?" tanya Dilan.
"ya, biasa lah. keinginan seakan gagal menemui kenyataan. lalu, apa yang kau lakukan pada malam berkuasa itu?" lanjut si kawan.
"mendengarkan musik, dan membiarkan kegagalan yang pernah terjadi mengisi penuh pikiranku" jelasnya.
"lalu?" tanya si kawan kurang puas.
"biarkan saja" jawabnya santai.
"lalu, seberapa hebat dia menguasaimu?" tanya si kawan penasaran.

sesaat dia ingat. sebuah masa di mana dia, kesendirian, dan perasaan gagalnya memaksa untuk memberontak. marah entah pada apa, tapi merasa harus marah. melampiaskan marahnya dan berseteru dengan matahari. berkawan dengan kesedihan dan khayalan. membiarkan hati dan pikirannya membusuk bersama angin malam.

"sempat malam menguasai penuh hidupku. menemani kemarahanku. saat itu aku sengaja membiarkannya berkuasa, membiarkannya menolongku meratapi gagalku" jelasnya agak sedih. entah dari mana datangnya, mendadak ingin saja dia berteriak. "ada kawanku, hati saja lah yang berteriak".

"apa yang membuatmu begitu marah?"
"entahlah. kesendirian, ketidakmampuan, kesalahan, keresahan" jelasnya.
"berapa lama?"
"cukup lama hingga akhirnya aku sadar betapa bodohnya hal yang ku lakukan" jelasnya sedikit tersenyum.
"lalu sekarang, jika kemarahanmu kembali datang?" si kawan menatapnya agak ragu, menunggu Dilan menjawab sembari menghabiskan kopinya.
"tetap kubiarkan malam menemaniku, tapi tidak menguasaiku. tidak salah jika kita bersedih karena gagal atau resah, menurutku itu manusiawi. tapi jika malam dan sedih menguasaimu, bersiaplah menunggu hancur" jawab Dilan yakin.

jawaban ayahnya membuat Dilan sadar satu hal. "secara harfiah, gagal berarti tidak berhasil. tapi ayah lebih suka menyebutnya 'belum'. kebanyakan orang sukses bercerita secara detail tentang perjuangan dan kegagalannya, tapi kesuksesannya hanya di jelaskan dengan sebuah kalimat "akhirnya saya berhasil". tidak ada yang mudah, tapi tidak ada yang sulit" kata ayahnya.

"aku selalu mencoba mencari celah dimana aku bisa menemukan jalan lain dan mencari alasan agar tidak berhenti. dan aku tidak pernah kehabisan alasan." lanjut Dilan sebelum dia menuju ke dapur mengambil segelas air hangat.
"kau mau kawan?" tanya Dilan pada si kawan.
"tidak lah, sudah cukup larut. lebih baik aku pulang" jawab si kawan.
"baiklah kalau begitu, jangan lupa ajak aku lagi minggu depan" sambil tertawa kecil.
"tenang saja, kau sudah aku masukkan daftar. nomor satu" si kawan menanggapi tawanya.

Dilan tidak mencoba menerka apa yang sedang kawannya pikirkan. jika pun kata-katanya tidak diterima si kawan, dia tidak perduli. karena dia sadar bahwa dia belum berhasil. alasan kenapa orang yang berduit lebih di dengarkan dari pada orang yang tidak punya duit adalah, orang yang berduit sudah berhasil mendapatkan sesuatu dari hasil pikiran dan perjuangannya. semua yang mereka katakan pasti lebih berkesan daripada orang yang tidak berduit ucapkan, walaupun sama benarnya.

Saturday, May 14, 2011

3. Alasan untuk disembunyikan

Annika. dia ingat sebuah nama. seorang wanita yang pertama kali mengajarkannya cinta dan memaksanya merasakan sedih.

"hey, kau tau? besok Annika ulang tahun. dia menyuruhku mengajakmu kerumahnya" kata seorang kawan pada Dilan.

"benarkah? dia tak pernah cerita. pukul berapa kita kesana?" Dilan pun bersemangat.

"besok siang kau ke rumahku, kita berangkat bersama" kata si kawan.

"oke, sebaiknya aku pulang. aku akan siapkan sesuatu untuknya" dengan langkah tergesa dan bersemangat, dia berlari pulang karena memang jarak rumah Dilan dan si kawan tidak terlalu jauh.

hampir setahun mereka menyatakan diri sebagai pasangan, dan besok adalah hari ulang tahun Annika. sesuatu yang harusnya spesial, tidak perlu hebat. tapi cukup menarik untuk diingat.

keterbatasan dana membuatnya harus berpikir dan bertindak kreatif, dan Dilan mengartikan kreatif secara harfiah yang berarti menciptakan. dia berangkat membeli tanah liat yang biasa digunakan bocah taman kanak-kanak membuat kerajinan tangan.

cukup lama dia menghabiskan waktu hanya untuk berpikir. "harus ku apakan tanah ini?" gumamnya.

dia mencoba memindahkan gambaran di kepalanya ke atas sebuah kertas. dan menggambar adalah hal pertama yang dilakukannya bersama kertas dan pensil, setelah dia merasa tidak boleh menggambar karena kalah dalam lomba mewarnai tingkat RT yang diselenggarakan oleh panitia tujuh belasan untuk usia 5-7 tahun.

satu lagi pekerjaan yang menyita waktunya. "tapi untuk Annika, tak apa lah" katanya.

sketsa selesai, dan dia masih harus men-3 dimensikan gambarnya dengan bantuan kawan barunya. "berbaik hatilah padaku kawan, itu pun jika kau punya hati".

hingga petang, dan dia merasa telah melakukan kesalahan pagi ini. "harusnya aku belikan sesuatu yang sederhana saja, bunga mawar mungkin" pikirnya. Dilan merasa hari ini begitu lama, mungkin ini yang dimaksud dengan relativitas waktu menurut Enstein pikirnya.

selesai, dan dia melihat jam di dinding kamarnya. setengah sembilan, setengah hari sudah dia bergelut dengan kreativitasnya. dan menurutnya tidak terbayar sama sekali, hasil yang kurang memuaskan.

"apa itu? bebek?" suara seorang gadis terdengar dari pintu dan mengejutkannya.

"kau tidak lihat? ini lambang cinta" jawabnya agak kesal.

"bebek itu lambang cinta? hahahahaha" tanyanya sambil bergurau lalu pergi.

"apakah semua adik perempuan seperti itu? atau memang kawan baru ku ini lebih mirip bebek?" dan dia memandang hasil karyanya dari setiap sudut. "tak apalah, paling tidak aku sudah mencoba. memang baru pertama kali, Annika juga akan mengerti" pikirnya.

sepanjang perjalanan, Dilan berusaha mencari alasan yang tepat kalau-kalau Annika bertanya tentang bebeknya. "aku mencoba membuat sesuatu untukmu, agak terasa lebih istimewa, untukmu yang istimewa. jika kau tak suka, tak apa singkirkan saja. tapi jangan singkirkan maknanya".

"sepertinya kita agak terlambat" kata si kawan sambil mematikan mesin motornya. "sudah kubilang tak perlu lama berdandan" tambahnya lagi.

"ini untuk Annika, aku harus tampil sempurna" jawabnya sambil tersenyum.

"kau duluanlah, aku amankan motorku" kata si kawan.

dengan langkah sedikit terburu, sampailah dia di sebuah pintu besar yang tingginya sekitar 2,5 sampai 3 meter yang mungkin bisa dimasuki oleh 5 orang sekaligus. dengan ruangan yang besar dan dipenuhi tamu undangan. "rumah seorang pengusaha sukses, wajarlah" pikirnya.

Postur yang cukup tinggi memudahkan Dilan melihat kue besar berwarna putih dengan hiasan pink disekitarnya dan angka 19 diatasnya, yang terletak di tengah ruangan. Annika pun disana, dengan gaun merah muda. terlihat anggun layaknya selebritis Hollywood yang sedang menghadiri acara penghargaan.

"hey, siapa pria disebelahnya? apakah itu kakaknya?" Dilan bertanya kepada temannya yang baru saja tiba. "entahlah, aku belum pernah melihatnya" jawab si kawan.

lalu, pria yang cukup tampan dan terlihat rapi dengan jas hitamnya itu mengeluarkan cincin yang tidak terlalu tampak dari tempat Dilan berdiri. yang dia lihat hanya si pria memakaikan cincin itu di jari manis Annika, lalu sebuah kecupan mendarat dikeningnya.

"selamat untuk anak kami Annika dan Tama" kata seorang pria paruh baya diiringi suara tepuk tangan dari orang-orang diruangan itu. "kepada para tamu, silahkan menikmati hidangannya" katanya lagi.

dengan agak ragu, Dilan mendekati seorang wanita yang berdiri agak ke dalam lalu bertanya "pria itu siapa?". "itu tunangannya, dan hari ini adalah harinya" jawab si ibu dengan nada bahagia.

dengan perasaan terkejut dan langkah agak malas, Dilan kembali ke tempat kawannya berdiri dan mengejutkan si kawan dengan informasi yang dia bawa.

"lebih baik kita ucapkan selamat kepadanya lalu kita pergi" usul si kawan. lalu Dilan meletakkan hadiahnya di bawah meja, bersama piring kotor sisa makan para tamu. dan si kawan tidak ingin menanyakan alasannya.

Annika yang sedang bercanda dengan si pria lalu terkejut melihat Dilan ada didepannya. "selamat untukmu dan hari bahagiamu" kata Dilan sambil tersenyum menyembunyikan sedihnya. "terimakasih" jawab Annika yang ikut tersenyum menutupi rasa terkejutnya.

Dilan menghabiskan sisa malamnya bersama si kawan, melakukan apa saja yang bisa membuatnya lupakan Annika. "setidaknya untuk malam ini" katanya dalam hati, bersama air mata yang dia simpan dalam hati.

suara telepon genggam membangunkannya. "aku di depan rumahmu" dan Dilan tau betul suara siapa itu. dilihatnya jam dinding "setengah sembilan" dan dengan langkah berat pergi kekamar mandi untuk membasuh mukanya lalu keluar menemui si wanita.

"mengapa kau tidak menjawab teleponku semalam?" tanya Annika memulai pembicaraan.

"aku tidak dirumah dan aku tidak membawa telepon genggamku" jawabnya. "apakah pria kemarin itu tunanganmu?" tanya Dilan ragu.

"ya, maaf tidak memberitahumu sebelumnya" jawab Annika. selama sebulan penuh sebelum hari ulang tahun Annika, mereka tidak berjumpa. Annika hanya bilang sedang ada urusan dan tidak menjelaskan urusannya.

"dia seorang pengusaha juga, seperti ayahku. aku melihat masa depan dengannya. dan untuk kebanyakan wanita seumurku, pria seperti itulah yang kami cari" jelasnya.

"sepertinya begitu, temanku pun begitu" Dilan melanjutkan. "baiklah, semoga kau sukses dengan masa depanmu" katanya lagi.

dengan sedikit basa-basi dan salam perpisahan, Annika pun pergi. dan sudah setahun belakangan ini, Dilan tak lagi mendengar kabarnya.


Annika, alasan yang tidak ingin dia ingat lagi. alasan lain dibalik penolakkan menyambut hari ulang tahun. dan alasan untuk menahan hasratnya mengejar Puspita.

Wednesday, May 11, 2011

2. Selamat ulang tahun



selamat ulang tahun, kami ucapkan.
selamat panjang umur, kita kan doakan.
selamat sejahtera, sehat sentosa.
selamat panjang umur, dan bahagia.


sendiri Dilan duduk di dalam kamarnya, di sebuah ruang berukuran 3x3. tempat dia banyak menghabiskan waktunya. mencoba melupakan kapan terakhir dia mendengar lagu ini. mencoba melupakan notasi lagu dan mencoba menghapus syairnya dari daftar lagu favoritnya.

banyak yang dia pikirkan, 20 tahun dan semua terasa begitu cepat. rasanya baru kemarin dia berharap ada hadiah dan kue ulang tahun yang sudah disiapkan orang tuanya. dan lagu favorit yang selalu dinyanyikan dengan iringan gitar dari ayahnya. bahkan dia sempat menciptakan lagu ulang tahunnya sendiri. sebuah lagu yang di hadiahkan untuk seseorang yang menurutnya spesial. ya, untuk Puspita. lalu semua terasa aneh.

"ada apa denganmu dan ulang tahun kawan?" seorang kawan bertanya.

pertanyaan yang sama dan entah sudah berapa banyak yang diajukan beberapa teman kepadanya.

"tidak ada apa-apa, aku dan ulang tahun baik-baik saja" jawabnya.

"lalu kenapa kau tidak mau menyambutnya? apakah kau tak senang kedatangannya?" tanya si kawan lagi.

"aku sangat senang saat dia datang, karna kedatangannya membuatku ingat bahwa ada sesuatu yang bertambah sekaligus berkurang. memaksaku berpikir apa yang sudah salah kulakukan, apakah sudah berkembang apa yang benar kulakukan".

"lalu, kenapa tidak kau rayakan kedatangannya?" pertanyaan yang sama dan selalu sama.

"merayakan apanya?" bertanya Dilan agak heran.

"ya, merayakan kedatangannya. seperti orang-orang biasa lakukan. merayakan ulang tahun bersama teman, berbagi kesenangan. mungkin tidak perlu besar-besaran, cukup beberapa teman. atau keluarga saja misalnya" jawabnya yakin dan sepertinya berharap aku akan mengajaknya bersenang-senang.

"untuk apa merayakan kedatangannya?" Dilan ingin mendengar pendapat si kawan.

"mungkin lebih mengarah kepada rasa syukur karena kau masih diberikan kesempatan hidup dunia. dan mensyukuri dengan berbagi adalah baik" jawab si kawan dengan sangat yakin.

"bersyukur dengan berbagi itu memang baik. tapi bersyukur karena diberikan waktu untuk hidup di dunia? jika aku bilang "syukurlah aku masih bisa hidup di dunia" mungkin sama dengan kalimat "syukurlah aku belum mati". tapi itu menurut sudut pandangku" gantian Dilan berpendapat.

sebuah pertimbangan yang sebenarnya sederhana kenapa Dilan tidak merayakan ulang tahunnya atau memberi selamat kepada temannya. karena menurutnya ulang tahun itu datang setiap tahun, dan dia tidak pernah tidak datang. sama saja dengan detik, atau menit, jam, hari, atau minggu, dan bulan. tidak berbeda dengan kabisat, dia akan datang setiap empat tahun. dan 'setiap' itu tidak terlalu spesial untuknya. "hanya berbeda di angka saja" pikirnya.

dan secara tidak sengaja, si kawan telah mengembangkan pemikirannya. membuatnya yakin bahwa teman-temannya adalah bagian penting dalam hidup dan perjalanan pikirannya.


"mungkin lebih baik jika namanya di ganti menjadi hari merenung" ucapnya dalam hati.

1. Cantik Tentangmu



terlalu banyak yang cantik tentangmu,
terlihat gelap jalanku meraihmu.
semakin jelas khayalku tentangmu,
semakin ragu ikuti hasratku.

menunggu, berharap kau tau.
tertinggal, hilang kesempatan tuk menangkan... mu


untukmu yang cantik, pergilah.
rasakan cinta yang layak untukmu, bahagialah
jika masih ada waktu, aku akan kembali mencoba untuk meraihmu.


"lagu ini untukmu, semoga nanti kau tau... Puspita" kata Dilan dalam hati.

"seorang pria harusnya tidak bersembunyi di balik perasaannya kepada wanita" seorang teman berucap.

"ya, aku tau. tapi aku ragu kawan. aku tak bisa melihat sesuatu di dalam diriku yang bisa meyakinkannya. yang bisa kubanggakan untuk mencintainya" ucap Dilan sejenak menyandarkan dirinya pada lamunan si gadis.

"aku tidak akan bisa seperti orang-orang layaknya berpasangan. aku tidak bisa mengajaknya berbelanja, tidak bisa mengajaknya berkendara, tidak bisa mengajaknya makam malam di tempat romantis yang biasanya seorang wanita inginkan. aku tidak bermateri kawan" lanjutnya. dan kali ini dia membuyarkan lamunannya sebelum dia merasa semakin menyesal.

Dilan memang bukan orang yang berlebih, tapi dia tidak pernah merasa kurang karena dia percaya bahwa Tuhan Maha Baik dan dia bersyukur karena telah percaya pada Tuhan. Dilan bukannya tidak bermaterikan dunia, tapi dia yakin dia hanya belum diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk di amanahkan menjaga barang titipan.

"cinta tak harus berhiaskan materi kawan, bapakku berkata demikian" temannya mencoba menasehati.

"bapakku pun berkata begitu, tapi kapan bapakku dan bapakmu lahir?" dia menjawab agak sedih dan di dalam hati yang dia yakini adalah "cinta itu untuk orang berduit".

"cinta itu selalu relevan kawan, sampai akhir jaman" kata si kawan agak kesal.

"cintanya relevan, tapi opini publik tidak mendukungku kawan. tontonan di televisi dan perkembangan jaman membuat mereka berpikir bahwa berpasangan berarti saatnya wanita untuk menabung, karena ada pria yang membayar. tidak seperti jaman bapakku dan bapakmu dulu" jawab Dilan tenang.

"lalu, bagaimana dengan nanti? saat waktu memaksamu untuk berkeluarga" pertanyaan yang sepertinya Dilan sudah tau akan terucap dari mulut temannya.

"kau baca bait terakhir laguku? ya, aku akan kembali saat aku siap kawan. itu pun jika dia masih mencari. dan aku akan datang layaknya harta karun yang dia temukan di dasar laut... hahahahaha" jawabnya agak bercanda agar hati tidak terlalu sedih.

"mengapa tidak kau ajak dia untuk menjadi motivasi atau supporter misalnya? bukan sekedar inspirasi. kau akan tau bahwa seorang wanita benar-benar menyayangimu atau tidak, saat dia siap berdiri di belakangmu saat kau terjatuh kawan. dia harus yakin bahwa kau berharga dan siap menopangmu saat kau terlalu lelah kawan. dan dia akan menjadi satu dari beberapa orang kepercayaanmu yang akan tertawa puas melihat kau berhasil..."

"pasti bapakmu yang bilang" jawabnya sebelum sempat si kawan menyelesaikan ucapannya.

dan mereka menyelesaikan perbincangannya seiring tawa yang memenuhi ruangan, lalu hilang tertiup angin. bersamaan dengan datangnya khayalan tentang si cantik, bunga yang mekar di musim semi.

Puspita, bukan hanya inspirasi, tapi dia adalah motivasi. Dilan hanya tak ingin keterbatasannya menganggu hubungan mereka.
"biarkanlah aku hidupkan duniaku sebelum aku hidupkan dunia kami. itupun jika dia masih menerimaku ke dalam dunianya. jika nanti dia sudah membina dunianya bersama orang lain, mungkin aku hanya bisa menyesal". dan menyesal seharusnya bukan sekedar 'hanya'.


"karena terlalu banyak yang cantik tentangmu, aku takut merusak cantikmu" ucapnya dalam hati sebelum memenjamkan mata menikmati mimpi.