beberapa bulan menjelang akhir perjuangan, setelah semua tugas diselesaikan sudah, dan akhir dari sebuah masa menunggu di tuntaskan. "gila, hasil belajar tiga tahun ditentukan dalam tiga hari" teriak kawan yang satu. "jika gagal, apakah jadi sia-sia?" tanya yang lain, satu-satunya wanita disana. "inilah kehidupan. akhirnya, semua hal yang kita jalani akan di uji, sejauh mana kita paham, bukan hanya tau. dan tidak akan sia-sia kawan, semuanya akan berguna nanti" kata seorang kawan yang sepertinya dari tadi ingin bicara tapi tertahan karena mulutnya yang penuh makanan. "sok bijak, habiskan dulu makanmu baru nanti bicara" kata yang pertama tadi. "sok tau, seperti yang sudah paham saja" kata si wanita yang bertanya. lalu tertawa bersama.
empat orang pelajar, di kantin sekolah, meneriakkan kepanikan diantara kesenangan, semangat, harapan. menantikan kenikmatan menjelajahi dunia baru, dan kejutan pertama yang jelas nyata di setiap kepalanya. "tiga tahun kawan, sudah akan berakhir". para pelajar yang saling melemparkan pandangan dan senyum tipis, merekam setiap jengkal wajah teman-temannya. dan tatapan singkat yang seakan berkata "jangan lupakan aku".
"hari ini dirumahku, pukul tujuh. sudah kusiapkan materi belajarnya" kata Dilan sebelum kembali ke kelasnya.
jam pelajaran tambahan selesai, sudah dekat ujian akhir, dan bertambah waktu yang mereka habiskan disekolah. para siswa berhamburan keluar kelas seperti burung merpati yang sedang berkumpul lalu dikacaukan sepeda yang lewat. "siapa wanita itu?" tanya Dilan dalam hati. cukup lama terdiam sebelum dibuyarkan suara kawannya. "ayo, pertandingannya segera dimulai" lalu menyeretnya jauh dari lamunan si gadis yang sepertinya baru dia lihat, membawanya turun ke tengah lapangan sekolah. hari ini ada pertandingan futsal antara kelas Dilan dan kelas yang dihuni si gadis, dan tentu saja si gadis ada di pinggir lapangan ingin melihat teman-teman sekelasnya bertanding. "sejak kapan dia ada disekolah ini? kenapa aku baru melihatnya?".
"dia Kanaya, teman sekelasku saat kelas satu dulu" jelas seorang kawan.
entah sebuah kebetulan atau memang Tuhan sudah merancang, gadis itu sendiri berjalan pulang. Dilan mempercepat langkahnya berharap bisa menyusul dan terpaksa meninggalkan tiga temannya.
"hey, Kanaya? aku Dilan" sambil menyodorkan tangannya sedikit malu.
masih bersama perasaan terkejut, Kanaya menyambut tangan Dilan dan mengiyakan pertanyaannya.
"kau sendirian?" sekedar basa-basi permulaan dia pikir.
"biasanya berdua, temanku tidak masuk hari ini, dia sakit" jawab Kanaya.
"baiklah, aku duluan. hati-hati di jalan" paling tidak sudah tau namanya pikir Dilan.
"baiklah, kau juga hati-hati" balasnya lembut.
sebuah cafe kecil di pinggir jalan dekat rumah seorang teman wanita yang kebetulan juga adalah kawannya Kanaya. "sebuah kebetulan atau keberuntungan?" pikirnya. beberapa minggu setelah menjajaki tempat belajar yang baru.
"Kanaya suka padamu" kata si kawan.
"benarkah?" tanya Dilan bersama rasa penasaran dan tidak percaya.
"kau tanyakanlah sendiri. ini nomor teleponnya" si kawan menyodorkan telepon genggamnya dan membiarkan Dilan tau nomor Kanaya.
"hey, benar apa yang kawanmu katakan?" tanya Dilan ragu.
tipis suara tawa agak malu menjawab pertanyaan Dilan.
"lalu?" masih dengan ragu.
"yaa, lalu?"
"baiklah"
"bicara apa sih?" tanya si kawan bingung.
jarak yang memaksa mereka sering menahan rasa rindu. Kanaya melanjutkan pendidikannya di luar kota, dan saat liburan adalah waktu yang paling menyenangkan untuk Dilan, karena Kanaya akan kembali ke Jakarta dan mereka akan bertemu. setiap manusia memiliki dunianya sendiri, dan kesadaran ini yang membuat mereka tidak terlalu sering menanyakan "sedang apa" atau "dimana" atau apalah kepada pasangannya. karena mereka juga sadar, ada saatnya mereka masuk ke dalam dunia yang tercipta hanya untuk mereka nikmati berdua.
agak ragu, Dilan menggapai telepon genggamnya. "aku takut mengganggu" pikirnya. "tak apa lah, sekedar ingin mendengar suaranya" ucapnya dalam hati.
"halo" suara lembut itu menenangkan resahnya.
"hey, sedang apa?" tanya Dilan.
"baca buku, sekedar mengisi waktu luang. kenapa?" sambil menutup buku, mencoba fokus pada suara pria disana.
"tidak ada, hanya ingin mendengar suaramu. mengganggukah?".
"tidak, tenang saja" tak bisa Kanaya sembunyikan senangnya.
"untunglah. sudah makan?" pertanyaan pembuka.
"belum, malas" jawabnya santai.
"makan kok malas? nanti sakit" kalimat keperdulian paling mendasar sepertinya.
"iya, nanti lah kalau ingin" masih dengan santai.
"baiklah, terserah saja" layaknya melemparkan handuk putih ke tengah ring tinju.
"kamu sudah makan?" tanya Kanaya.
"jelas sudah. kalau telat, bisa gila nanti. hahahahaha, " jawabnya.
"tumben" bersamaan dengan suara tawanya yang lembut.
"baiklah. kalau bisa, makan lah dulu sebelum tidur" berharap Kanaya mendengarnya.
"iya, tenang saja. terimakasih" balasnya mencoba menenangkan Dilan disana.
"ternyata ini rasanya kuliah, tidak setiap hari masuk kelas. menyenangkan sekali" kata seorang kawan. "tempatmu lebih dekat dengan kampus, bagaimana jika malam ini aku menginap?" tanya Dilan.
"silahkan saja, aku juga sedang butuh lawan tanding" jawab si kawan.
telepon genggam berbunyi, Dilan meletakkan joystick Playstation, meraih telepon genggamnya dan membuat temannya marah. "hey, jangan pergi kau. selesaikan ini dulu" kata si kawan.
"sebentar, aku segera kembali" jawabnya terburu lalu sedikit menjauh.
"hey, sudah bangun?" suara lembut Kanaya membuatnya bersemangat.
"sudah dari tadi" jawab Dilan tersenyum senang. wajar mungkin, baru saja mereka memutuskan untuk berpacaran.
"sedang apa?" tanya Kanaya agak malu.
"biasa, main playstation. kamu sedang apa?" mencoba menahan agar suara detak jantungnya tak terdengar.
"tidak ada. sudah mandi? pasti belum" dengan tipis suara tawanya.
"masih jam 10, sebentar lagi lah. kamu sudah makan?" ah, pertanyaan klise pikirnya.
"sudah, baru selesai. kamu? pasti belum juga" kebiasaan para pria.
"hebat, bisa tau. hahahahaha" entah mentertawakan bodohnya sendiri atau apa.
"mandi sana, terus makan. jangan main saja" sebuah kalimat suruhan, tapi tidak berkesan disuruh. mungkin karena Kanaya yang mengucapkan dan rasanya menyenangkan pikir Dilan.
"siap, laksanakan" jawab Dilan bersemangat.
untuk Dilan, tiga bulan itu sangat mengesankan, belum tergantikan. setiap jengkal yang mereka lalui, setiap dering telepon yang berbunyi, semua pesan singkat yang tersimpan.
"caranya yang membuatku terkesan" jelas Dilan kepada kawannya.
"tidak setiap saat, bahkan jarang sekali dia mengabari atau menanyakan kabarku. atau meneleponku. dan aku suka itu" si kawan diam mendengarkan.
"tidak seperti yang lain yang selalu minta untuk di kabari setiap saat" lanjutnya lagi.
"lalu, kenapa dia meminta kalian berpisah?" tanya si kawan.
"entahlah, aku ragu menanyakannya. salah atau benar tak masalah, aku tak ingin menyesalkannya" jawab Dilan agak sedih.
"lalu, kau masih berharap padanya?" tanya si kawan menggoda.
"sepertinya. aku ingin tau lebih banyak tentangnya, ingin tau sejauh mana dia akan mengesankanku. dan sekarang aku rindu caranya" sebuah pengakuan yang mungkin terkesan menjijikkan dan sambil tersenyum malu kepada si kawan.
entah tidak bisa, atau tidak ingin dia lupakan. selalu ada pertanyaan yang tidak ingin beranjak dari pikirannya, "mungkinkah dia juga terkesan padaku? mungkinkah ada kesempatan lagi untukku? mungkinkah dia masih ingat cerita ini?". sampai hari ini, tiga tahun sudah, dan semua wanita yang berharap bisa menggantikannya, tidak mampu menghilangkan kenangan tentangnya. dan masih sering Dilan melakukan perjalanan kembali lagi ke masa itu. perjalanan yang kadang dia benci karena sering salah tempat dan waktu. tapi dia selalu mencoba untuk tidak menyesal.